Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seorang Presiden Yang Dibunuh Di Hutan Pinus, Oleh Aris Usboko


Di antara hutan-hutan Pinus dan Oak gunung berbatu granit Sierra de Guadarrama di atas dataran semenanjung Iberia yang diapit dua provinsi: Avila dan Guadalajara, Spanyol, ia ditangkap dan dibunuh oleh tentara jendral fasis Franco, jelang akhir musim panas 6 Agustus 1936. Tulang belulang jasadnya baru ditemukan dan digali 60 tahun kemudian. Pada 1990-an, ketika gerakan para Culers FC Barçelona berencana memeringati 60 tahun peristiwa pembunuhan Josep Sunyol i Garriga.

Sunyol seorang pengacara, jurnalis, dan politisi Catalan yang sangat aktif mengadvokasi kemerdekaan Catalan. Pada 1928 menjabat sebagai salah satu direktur FC Barçelona, dan pada 1935 Sunyol dipilih menjadi presiden para Culers, hanya satu tahun sebelum ia dibunuh oleh fasis Franco.

Ketika meregang nyawa, Sunyol baru berusia 38 tahun. Ada kemiripan dengan Bapak ideologis nasionalisme Basque, Sabino Arana, yang juga mati dibunuh Franco di dalam penjara, 25 November 1903 pada usia ideologis, 38 tahun. Arana pernah belajar hukum dan politik di Barçelona. Pemikiran-pemikiran ideologis dan nasionalisnya, sulit dipungkiri, menjadi di antara nilai-nilai dasar pembentukan klub Atletico Bilbao.

Bagi para fans keras kepala, Barça dan Bilbao adalah representasi kepentingan politik menolak hegemoni para penguasa fasis di Madrid.

Kalau anda menganggap latar sejarah tidak penting dalam kerja-kerja nalar anda, silahkan.!!

Saya tidak peduli. Buat saya pribadi, FC Barçelona dan Atletico Bilbao, sah mempunyai greget politik mengendap dan berakar. Bahkan mungkin juga berbalut dendam. Setidaknya bagi para fans, sejarah kelam dan brutal para penguasa Madrid tak mudah hilang. Greget yang pernah mengejawantah dalam prinsip Bilbao untuk menolak pemain dari luar wilayah Basque. FC Barçelona sendiri masih dimiliki oleh koperasi anggota-anggotanya, yang dengan tegas dan keras menolak klub dikangkangi para penguasa modal hegemonik, seperti beberapa klub yang dikangkangi para feodal Arab.

Dari latar kekejaman politik itulah pertandingan-pertandingan antara Bilbao atau Barçelona dengan Real Madrid, yang merupakan klub kesayangan jendral Franco dan Raja Spanyol, menjadi klasik! El Clasico. Sepak bola seperti ini memang bukan perkara lapangan saja.

Saya kira tidak ada atau tidak banyak klub yang sejarahnya diwarnai irisan tajam penindasan penguasa. Kalau yang mencerminkan sikap penjajah, ada! Lihat itu timnas Inggris yang menyebut dirinya The Three Lions. Sejak kapan singa hidup di Inggris? Nama itu kan menunjukkan sejarah penjajahan Inggris di benua Afrika.

Dalam tulisannya, SELF DETERMINATION: INTERNATIONAL LAW & PRACTICE Constitutional Options for Self Determination; What Really Works? Markku Suksi, Professor of Public Law dari Âbo Akademi University. Finland, menguraikan dengan menarik, penting dan mendasar, pengertian-pengertian Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) menjadi dua kelompok pengertian: Internal Self Determination dan Eksternal Self Determination. Hak ini bisa diaktifkan bila terjadi situasi penaklukan (subjugation) pada sebuah entitas.

Menariknya, Suksi mengawali penjelasannya bahwa Hak tersebut tercantum sama persis pada pasal pertama dua Covenant: Kovenan SIPOL dan ECOSOC. Salah satu alasan penting mengapa Hak ini ditempatkan persis sama di masing-masing pasal pertama dua kovenan tersebut, karena kedua kovenan dianggap tak terpisahkan (indivisible). Logis, dan faktanya memang begitu. Mana bisa memisahkan hak sipil dan politik dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya?

Subjugasi, penaklukkan, di era kini, tidak melulu diiringi dentuman senjata atau bombardir dari udara dan laut. Ia bisa berbentuk pikiran, modal, dan juga regulasi yang menyingkirkan komunitas tertentu misalnya. Dan itu bukan hanya datang dari luar, macam investasi asing misalnya, tapi juga bisa datang dari pemodal-pemodal dan elit oligarki dalam negeri.

Indonesia punya jejak dalam hal komunitas wilayah yang menuntut hak menentukan nasib sendiri. Timor Leste sudah lepas merdeka menjadi negara sendiri. Aceh mendapat otonomi khusus dengan di antaranya, bisa punya partai politik lokal. Papua mendapat dana Otsus. Semua membuktikan fakta subjugasi tak terbantahkan di tiga wilayah tersebut. Subjugasi-subjugasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan nasional dan internasional di beberapa wilayah, juga tidak kurang-kurang. Wilayah-wilayah adat yang dicaplok perusahaan, terus saja terjadi.

Di titik itulah tidak sulit bagi saya untuk memberi rasa solidaritas pada masyarakat Catalunya. FC Barçelona hanya satu sudut dari wilayah Catalunya, dan acap digunakan sebagai media ekspresi sikap politik. Lihatlah jerseynya atau Senyera, bendera berwarna strip merah dan kuning yang sering dikibarkan fans di stadion. Atau dengarkan dukungan Pep Guardiola atau pemain Barça lainnya dalam mendukung para aktifis kemerdekaan Catalunya yang ditangkap dan dipenjarakan.

Saya bukan penonton penyuka sepak bola hedon, yang menonton sepak bola, tidak peduli siapa bertanding, di tepi lapangan sambil makan kacang rebus dengan risiko kaki digigit semut api. Bukan, saya tidak seperti itu. Dan saya tidak menonton setiap pertandingan sepak bola. Maka, Barça menang saya senang. Kalah atau draw ya sudah. Memang perjuangan publik Catalunya bukan Barça jadi juara, tapi Kemerdekaan. Lagian emang ada pertandingan sepak bola yang hasilnya di luar Menang, Kalah, atau Draw?

Kehadiran Culers di bangku penonton di Camp Nou, bukan cuma untuk memberi dukungan pada klub yang bertanding. Tapi yang lebih penting untuk tetap menunjukkan representasi politik ruang. Mereka ada dan terus berlipat ganda. Dengarlah di antara lirik Hymnenya: “No matter where we come from, South or North. A flag brings us together.”

Visca Barça Visca Catalunya!

Posting Komentar untuk "Seorang Presiden Yang Dibunuh Di Hutan Pinus, Oleh Aris Usboko"