PINTAR TAPI MISKIN. MENGAPA?
Sering kali kita menemukan konten atau tulisan yang mengolok-olok mereka yang sekolah/kuliahnya sangat rajin, tapi berujung hanya menjadi karyawan biasa. Sementara mereka yang sekolahnya sering bolos atau saat remajanya nakal, bisa jadi sukses dan banyak uang.
Mereka yang mengolok-olok tersebut memberikan contoh para milyuner seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, Jusuf Hamka, Rudi Salim, Bob Sadino yang meski tidak lulus kuliah, tapi bisa sukses luar biasa. Atau yang sedang hype sekarang, yakni para selebgram dan tiktokers yang hidupnya "ugal-ugalan" tapi bergelimang harta.
Pertanyannya, apakah orang pintar yang sekolahnya sangat rajin tidak bisa jadi kaya?
Tentu sangat bisa. Mantan CEO Gojek yang sekarang jadi Mendikbud adalah orang yang jenius dan sangat rajin ketika sekolah. Sandi Uno yang kekayaannya triliunan juga orang yang sangat pintar juga rajin.
Soal cemoohan yang dialamatkan kepada orang pintar yang miskin sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak ribuan tahun lalu fenomena tersebut sudah terjadi.
Thales (6 SM), seorang filsuf pra-sokrates dari Mazhab Milesian yang terkenal karena pemikirannya yang menganggap bahwa seluruh kehidupan berasa dari air, pernah juga diolok-olok oleh masyarakat di sekitarnya karena ia yang katanya berwawasan luas, tapi hidup dengan kondisi yang kekurangan harta.
Dikutip dari buku Politics karya Aristoteles:
"Ia (Thales) dicemooh karena miskin, dan hal tersebut menunjukan bahwa filsafat tidak berguna. Namun, berkat pengetahuannya tentang astronomi, meski saat itu masih musim dingin ia tahu bahwa akan terjadi panen buah zaitun yang berlimpah di tahun depan; demikianlah, dengan uangnya yang tak seberapa ia membayar uang muka untuk menyewa semua alat pengolah zaitun di Chios dan Miletus (tempat tinggal Thales), yang ia bayar dengan harga rendah karena tak seorang pun yang menolak tawarannya. Ketika musim panen tiba, dan banyak orang yang membutuhkan semua alat itu segera, ia kembali menyewakannya dengan harga sesuka hati. Thales pun menghasilkan banyak uang akibat untung yang berlebih. Jadi, Thales membuktikan bahwa para filsuf bisa kaya dengan gampang jika mereka mau. Hanya saja ambisi mereka menuju ke arah lain (bukan kekayaan)."
Tapi sebenanrya Thales tidak sendiri, filsuf lain seperti Socrates pun mengalami hal yang sama. Meskipun ia dikenal sebagai orang tercerdas di Athena, tapi ia hidup dalam kondisi yang sangat miskin. Bahkan istrinya, Xanthippe, saban hari marah-marah kepada Socrates karena tidak bisa membelikannya sutra dan emas. Bukan berarti Socrates tidak mampu atau tidak bisa menjadi kaya, tapi karena ambisinya bukan kepada kekayaan.
Kalau di abad modern ada Karl Marx, filsuf dan orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah, tapi hidup dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mungkin, kalau bukan karena bantuan dari temannya, Engels, Marx sudah mati kelaparan. Tapi di masa tuanya Marx bisa tinggal di rumah mewah bersama Istrinya, Jenny, dan anak-anaknya. Marx bisa hidup dengan tenang tanpa bekerja lagi berkat dividen dari saham yang ia miliki. Artinya, Marx bukan tidak bisa menjadi kaya, melainkan ia tidak ingin kaya dan malah ingin menghancurkan sistem kekayaan yang berbalut Kapitalisme.
Di sekitar kita pun terdapat banyak orang yang pintar, tapi berujung menjadi karyawan atau malah cuma jadi orang biasa-biasa saja. Menurut saya itu bukan suatu kesalahan; mungkin mereka hanya ingin mencari ketenangan, kepuasaan atau keamanan dengan menjadi karyawan yang tinggal terima gaji tanpa harus khawatir profit tiap bulan.
Satu lagi, kekayaan sebenarnya tidak ditentukan dari tinggi atau rendah pendidikan, melainkan karena kebiasaan. Sebab harta, terutama uang, berkaitan dengan emosi manusia, bukan intelektual. Orang yang pandai cari uang dengan kemampuan intelektualnya, belum tentu menjadi kaya jika sisi emosionalnya tidak beres. Misal, baru gajian sudah belanja barang-barang mewah yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Tapi orang yang emosionalnya sehat, saat menerima uang segera ia tabungkan. Ia tidak peduli apa kata orang yang penting tabungannya banyak.
Penulis: Aris Usboko, Anggota GMNI Universitas Tama Jagakarsa
Posting Komentar untuk "PINTAR TAPI MISKIN. MENGAPA?"