KARTINI, CINTA YANG PENUH & DALAM.
“Kadang-kadang aku lupa sama sekali bahwa aku makin banyak kehilangan angn-angan indah. Kupikir bahwa aku sedang menjalankan panggilanku lewat jalan lain daripada yang aku tetapkan sendiri. Dan itu sajalah yang akan menyenangkan hatiku. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan tiada sesuatu pun boleh sempurna. Aku telah mengharap-harapkan dan berdoa semoga dapat menjadi Ibu dan Kakak bagi banyak orang, dan Allah telah mengabulkan doaku, meskipun agak berbeda daripada apa yang kumaksudkan,” demikian surat Kartini pada Ny. Abendanon, 25 Agustus 1903.
Kartini adalah seorang pejuang, petarung. Tidak sepantasnya memperbandingkan dalam niatan buruk, dengan Nyi Ageng Serang atau Tjut Ny’ Dhien, atau sesiapun pahlawan perempuan yang berjuang nyata di medan perang maupun di tengah derita masyarakat. Karena peperangan tak hanya terjadi dalam kacamata militer, atau kenyataan sosial yang pahit. Apalagi dengan menyatakan Kartini tidak melakukan apapun. Lebih sibuk dengan surat-suratan belaka, karena sosialita dan elitis pada jamannya. Adalah salah besar.
Dalam kondisi sosialnya, Kartini adalah pejuang sekaligus petarung. Justeru karena ia masuk dalam persoalan jamannya. Bagaimana penjajahan terjadi di lingkungan terdekat. Dia berjuang untuk membebaskannya, dengan semua senjata yang dipunya dan dipilih. Hingga ia mendirikan sekolah untuk rakyat jelantah. Memberi pengajaran apapun. Juga mendidik dan melatih para pengrajin ukiran di Jepara. Ia menyalurkan pada pihak-pihak yang bisa menolong.
Perkawinannya dengan bupati Rembang, yang pernah dipakai alasan penolakan kaum feminis Indonesia, juga menunjukkan ketidaktahuan umum posisi Kartini. Baik mengenai perkawinan itu sendiri, maupun bagaimana menyiasati jaman, sebagai petarung yag mengetahui medannya. Bupati Rembang meminang Kartini setelah isterinya meninggal dunia.
Kartini sendiri sebagai seorang pelari marathon berbeda tantangan dengan sprinter 100m. Dia bukan pejuang proposal per-proyek, dengan satu atau dua funding. Ketika hendak meninggalkan Jepara, sekolah yang dirintisnya terus bertambah murid. Sementara di Rembang, Kartini mendapat tantangan yang lebih terbuka. Karena di sini pendidikan modern lebih berkembang. Terus Kartini mengajak masyarakat angkat senjata, berperang ala film-film rambo? Kartini membaca potensi masyarakatnya. Dan sebagai enterpreneur Kartini membuka pintu-pintu kemungkinan tumbuhnya masyarakat sipil. Ia mempertemukan kaum profesional, seniman yang mumpuni, untuk bertemu dengan pasarnya. Tukang emas dan tukar ukir, juga pembatik. Ia melobi agar barang-barang produk Jepara, tak harus di-Batavia-kan dulu. Bagaimana bisa langsung dibeli di Jepara, hingga lebih kompetitif . Ia harus memastikan tersedianya barang berkualitas barang yang bagus dan ajeg. Keajegan, kontinyuitas itu penting.
Kartini berada di jaman itu, tidak dijaman polisi Israel memaksa para jamaah di Al Aqsa, di tengah rasa kemanusiaan internasional yang tak memberi pesan apa-apa.
Berada pada jamannya, dan tahu setepatnya menyelesaikan masalah. Mencarikan pintu keluar bagi banyak orang, adalah juga perjuangan tersendiri. Kartini bukan hanya sibuk dengan pemikiran. Ia juga seorang aktivis. Terjun ke ceruk persoalan masyarakatnya.
Dalam keterkungkungannya (menurut perspektif masyarakat umum jaman kini melihat aristokrasi masa lalu, tapi tanpa data), Kartini menulis, “Bukan lagi kesedihan yang menyayat, bukan pula putus asa yang mencekam, melainkan cinta yang penuh dan dalam, menggema dalam hatiku,…” Dalam suratnya pada Ny. Abendanon yang dianggap sebagai ibunya, Kartini menambahkan, “… dan saya akan memberi cinta di sekitarku dengan penuh. Betapa banyaknya orang yang lapar dan haus akan sekedar cinta,…”
Untuk itu, ia banyak menabrak tradisi. Sesuatu yang manusia modern sekarang belum tentu berani, kecuali berkompromi.
Seratus empatpuluh empat tahun lampau, Kartini lahir pada 21 April. Usianya sekitar 25 tahun, ketika meninggal pada tahun 1904. Kartini tak pernah meributkan soal kebaya, sebagaimana banyak masyarakat merayakannya dengan busana nasional. Kartini malah banyak bertanya. Di antaranya, katanya agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama? Dialah perempuan yang pengin dipanggil Kartini saja. Tanpa embel-embel. Dan kini, ketika kita mendengar istilah stunting, kita boleh mengenang Kartini yang meninggal 4 hari setelah melahirkan putranya.
Penulis: Aris Usboko, Anggota GMNI Universitas Tama Jagakarsa
Posting Komentar untuk "KARTINI, CINTA YANG PENUH & DALAM."